Jumat, 17 Agustus 2007

IDI News....

TENTANG
KEPERIHATINAN TERHADAP BEBAN BIAYA PENDIDIKAN DOKTER

Sejak terwujudnya sejarah kedokteran, seluruh umat manusia mengakui serta mengetahui adanya beberapa sifat mendasar (fundamental) yang melekat secara mutlak pada diri seorang dokter yang baik dan bijaksana, yaitu adanya sifat ketuhanan, kemurnian niat, keluhuran budi, kerendahan hati, kesungguhan kerja, integritas ilmiah dan sosial, serta kesejawatan yang tidak diragukan.
Inhotep dari Mesir, Hippocrates dari Yunani, Galenus dari Roma, merupakan beberapa ahli pelopor kedokteran kuno yang telah meletakkan sendi-sendi permulaan untuk terbinanya suatu tradisi kedokteran yang mulia. Beserta semua tokoh dan organisasi kedokteran yang tampil ke forum internasional, kemudian mereka bermaksud mendasarkan tradisi dan disiplin kedokteran tersebut atas suatu etik profesional. Etik tersebut, sepanjang masa mengutamakan penderita yang berobat serta demi keselamatan dan kepentingan penderita.
Di era sekarang ini, ada kekhawatiran bahwa upaya mengutamakan keselamatan dan kepentingan pasien akan sangat terganggu dengan adanya kenyataan bahwa biaya pendidikan kedokteran sangatlah mahal, yang apabila dibebankan seluruhnya atau sebagian pembiayaan tersebut kepada calon dokter atau calon dokter spesialis akan memberatkan masyarakat yang berobat pada masa mendatang. Prinsip return of investment dikhawatirkan akan terjadi.
Bisa dibayangkan, saat ini untuk masuk menjadi peserta didik, program pendidikan dokter spesialis tertentu di Fakultas Kedokteran tertentu, mensyaratkan “sumbangan sukarela” yang sangat besar, berkisar antara 300 juta sampai dengan 500 juta rupiah. Bahkan angka tersebut cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Jadilah kompetisi masuk kedokteran adalah berdasarkan kemampuan memberikan “sumbangan” untuk instansi pendidikan. Sederhana sekali, kalau ada dua calon yang sama kemampuannya, maka salah satu faktor yang dipertimbangkan untuk menerima calon peserta didik adalah calon peserta yang berani menawarkan sumbangan yang lebih besar. Pendidikan kedokteran kembali ke masa dimana hanya yang mampu secara finansial yang punya hak untuk sekolah.
Press Release Pengurus Besar Ikatan Dokter IndonesiaTanggal 15 Agustus 2007
Lebih mengkhawatirkan lagi bahwa sumbangan tersebut di beberapa Fakultas Kedokteran, kemudian tidak dikelola sebagaimana seharusnya mekanisme pengelolaan keuangan Negara, sebagaimana aturan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Muncul pertanyaan yang kurang patut tentang pemanfaatan sumbangan tersebut.
Namun demikian, disadari pula bahwa biaya mendidik seorang dokter sangatlah mahal. Perhitungan sementara PB IDI, untuk mendidik ahli kebidanan dan kandungan misalnya, secara ideal seharusnya disiapkan dana sebesar antara 80 juta sampai dengan 160 juta per semester. Sehingga untuk menghasilkan seorang dokter ahli kebidanan dan kandungan diperlukan rata-rata biaya pendidikan untuk, misalnya, selama 4 tahun adalah 640 juta sampai 1,28 milyar rupiah. Untuk itu diperlukan langkah-langkah konkrit untuk mengantisipasi hal-hal di atas dalam kerangka menjaga dokter masa mendatang hanya berpikir untuk mengembalikan investasi dengan cara menarik biaya pelayanan ke pasiennya dengan cara-cara yang melupakan harkat dan martabat pekerjaan keprofesiannya, melalui:
Fakultas-fakultas kedokteran harus memperjuangkan kebutuhan biaya pendidikan yang Mahal melalui skema pembiayaan APBN sejalan dengan komitmen pemerintah untuk meningkatkan biaya pendidikan.
Dilakukan kajian yang serius terhadap quality of spending alokasi anggaran biaya pendidikan yang ada saat ini agar tepat sasaran dan tidak habis hanya untuk biaya-biaya operasional yang tidak perlu.
Program beasiswa oleh pemerintah yang diberikan untuk program-program tertentu dalam pendidikan kedokteran hanyalah treatment sesaat yang harus segera dilanjutkan dengan program yang komprehensif dan berkelanjutan.
Harus ditinjau ulang penarikan sumbangan sukarela yang cukup besar yang dilakukan Program Pendidikan Dokter Spesialis tertentu di Fakultas Kedokteran Tertentu. Apabila diperlukan dilakukan audit terhadap besaran sumbangan tersebut.
Idealnya pendidikan kedokteran, khususnya pendidikan spesialis yang berjalan di berbagai negara, dokter peserta didik justru harus di bayar bukan membayar, karena pada dasarnya dokter residens di sarana pendidikan (rumah-rumah sakit) adalah individu-individu yang belajar sambil bekerja, dan menyumbangkan tenaganya secara penuh di sarana pendidikan tersebut.
Press Release Pengurus Besar Ikatan Dokter IndonesiaTanggal 15 Agustus 2007
Demikian press release PB IDI. mudah-mudahan dapat membangkitkan rasa keprihatinan publik agar menjadi concern bersama menjelang 62 tahun kemerdekaan RI, sehingga cita-cita kemerdekaan dan tujuan negara sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945 dapat terlaksana dengan sebaik-baiknya.

Jakarta, 15 Agustus 2007
Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia

Ketua Umum, Sekretaris Jenderal,

DR. Dr. Fachmi Idris, M.Kes Dr. Zaenal Abidin
NPA. IDI : 32.552 NPA. IDI : 42.557

Tidak ada komentar:

Copyright 2007, Pelayanan Medis Nasional (PMdN) Perkantas

Jl. Pintu Air Raya 7, Komplek Mitra Pintu Air Blok C-5, Jakarta Pusat
Telp. (021) 3522923, 3442463-4 Fax (021) 3522170
Twitter/IG : @MedisPerkantas
Download Majalah Samaritan Versi Digital : https://issuu.com/samaritanmag